Rabu, 26 Oktober 2016

Apakah Anda Seorang Pemimpin? Siapakah Penasehat Anda?


Betapa tinggi kedudukan ulama dan orang-orang yang berilmu di tengah masyarakat, yang dengan taufik Allah kemudian peran mereka, tercapailah kejayaan umat ini...

By : Ismail Haniye



    
الحمد لله حمد الشاكرين ، وأثني عليه ثناء الذاكرين ، وأشهد أن لا إله إلا الله إله الأولين والآخرين ، وأشهد أنَّ محمداً عبده ورسوله سيد ولد آدم أجمعين ؛ صلى الله وسلَّم عليه وعلى آله وصحبه أجمعين ،أما بعد :

Pemimpin – dengan sekecil apapun wilayah kepemimpinannya – akan mempertanggung-jawabkannya kelak di akherat. Sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa setiap pemimpin dalam memutuskan keputusan besar, mendengar masukan dari penasehat dan orang-orang dekatnya,agar keputusannya tepat.

Keputusan yang tepat adalah keputusan yang diridhai dan dicintai oleh Allah, sehingga jika Allah cinta maka akan menolong pemimpin tersebut sukses dunia akhirat. Sungguh seorang pemimpin sangat membutuhkan penasehat yang memberi masukan tentang keputusan yang diridhai oleh Allah Rabbul’Alamin.

Sosok penasehat yang tidaklah berbicara kecuali dengan dasar Kitabullah dan Sunnah Nabiصلى الله عليه وسلم . Mereka adalah profil pendamping terbaik,berilmu dan beramal. Dengan penuh adab mereka bermusyawarah, dengan etika tinggi mereka mengingatkan, dengan kesabaran yang baik mereka mendampingi. Akhlak mulia menghiasi ucapan dan perbuatan mereka,terlebih lagi di zaman fitnah (kerusakan), mereka tahu bahwa di zaman fitnah :

ليس كل ما يعلم يُقال ، ولا كل ما يريد يُفعل

“Tidak setiap yang diketahui, harus diucapkan, dan tidak setiap yang diinginkan harus dilakukan”

semua dengan pertimbangan yang matang. Inilah sifat-sifat mereka!

Umar bin Khathab bermusyawarah dengan Al Qurra’

Imam Al-Bukhari rahimahullah menyebutkan dalam Shahih-nya, sebuah atsar:

وكان القراء أصحاب مشورة عمر كهولا كانوا أو شبانا، وكان وقّافا عند كتاب الله عز وجل.

“Dan dahulu orang-orang yang diajak musyawarah Umar رضي الله عنه mereka adalah Al-Qurra`, baik tua maupun muda, dan mereka benar-benar berpegang teguh dengan Al-Qur`an“

Dijelaskan oleh Ibnu Hajar رحمه الله bahwa makna Al-Qurra‘ adalah ulama shli Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ahli ibadah.

وشاور علياً وأسامة فيما رمى به أهلُ الإفك عائشة

“Dan Nabi صلى الله عليه وسلم bermusyawarah dengan Ali dan Usamah رضي الله عنهما dalam masalah berita dusta yang disebarkan oleh ahlul ifki tentang ‘Aisyah رضي الله عنها “

Kedua atsar ini disampaikan oleh Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya ketika beliau menyebutkan :

كتاب: «الاعتصام بالكتاب والسنة»

“Berpegang teguh dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah”

Apa artinya ini?

Disebutkannya kedua atsar ini dalam bab tentang “Berpegang teguh dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah”, hal ini menunjukkan bahwa bermusyawarah dengan orang-orang yang berilmu syar’i termasuk bentuk berpegang teguh dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Sebab di tengah masyarakat, merekalah yang paling tahu tentang kedua wahyu tersebut. Di tengah masyarakat, merekalah yang menjelaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka dari itu bermusyawarah dengan mereka hakekatnya merupakan bentuk berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang merupakan solusi di dalam menghadapi fitnah.

Kemudian, marilah kita simak bersama dua buah riwayat Imam Muslim di bawah ini,

Suatu hari Amirul Mukminin (Umar bin Al Khattab) رضي الله عنه bertemu dengan نافع بن عبد الحارث  di daerah ‘Usfan (saat itu Umar tengah mempercayakan kepemimpinan Mekah kepada Nafi’).

فقال : من استعملت على أهل الوادي ؟ فقال : ابن أبزى . قال :

 ومَنْ ابن أبزى ؟! قال : مولى من موالينا ! قال : فاستخلفت عليهم مولى ؟

قال : إنه قارئ لكتاب الله عـز وجل ، وإنه عالـم بالفرائض . قال عمر

:أما إن نبيكم صلى الله عليه وسلم قد قال : إن الله يرفع بهذا الكتاب أقواما ،

 ويضع به آخرين.

“Umar bertanya, “Siapa yang engkau tunjuk menjadi pemimpin daerah lembah?”
Nafi’ menjawab, “Ibnu Abza.”
Umar bertanya, “Siapa Ibnu Abza?”
Nafi’ menjawab, “Seorang bekas budak dari budak-budak kami yang telah dimerdekakan.”
Umar bertanya kembali, “Engkau telah memberikan kepercayaan tersebut kepada seorang bekas budak [?]“
Nafi’ mengatakan, “Sesungguhnya dia adalah seorang Ahlul-Qur’an (yang hafal, paham dan mengamalkannya) dan pakar ilmu Syari’at Islam”

Kemudian Umar berkata, “Sungguh Nabi kalian صلى الله عليه وسلم  telah bersabda: “Sesungguhnya Allah mengangkat derajat sebagian manusia dengan Al-Qur`an dan merendahkan sebagian yang lain karena sebab sikap yang salah terhadap Al-Qur`an.” (Shahih Muslim: 817).

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bermusyawarah dengan Abu Bakar dan Umar

Adapun riwayat yang kedua yang diriwayatkan pula oleh Imam Muslim adalah sebuah kisah yang agak panjang dari Ibnu Abbas, yang ringkasnya sebagai berikut :

Ketika itu Kaum Muslimin menawan beberapa tawanan perang, kemudian Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengajak musyawarah 2 orang sahabat yang terbaik. Terbaik dari sisi ilmunya dan terbaik dari sisi amalnya, paling berilmu dan paling bertakwa. Siapa 2 orang tersebut? Mereka adalah : Abu Bakar dan Umar رضي الله عنهما.

Maka, sungguh indah tafsiran Ibnu Abbas -yang beliau dikenal sebagai pakar tafsir di kalangan shahabat- ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala :

وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ} (آل عمران: 159)

“…dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (QS. Al Imran: 159)

Kata beliau: “yaitu : (Musyawarahlah dengan) Abu Bakar dan Umar رضي الله عنهما“.

Mengapa demikian? Karena kedua Sahabat tersebut adalah orang yang paling berilmu dan bertakwa di tengah Umat Rasulullah صلى الله عليه وسلم .

Umar رضي الله عنه memilih 6 sahabat Nabi untuk memilih khalifah

Sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya, bahwa Umar رضي الله عنه ketika menyampaikan pandangan tentang siapakah yang paling berhak menjadi tim formatur pemilihan Khalifah sepeninggal beliau, beliau berkata :

ما أجد أحق بهذا الأمر من هؤلاء النفر أو الرهط الذين توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو عنهم راض فسمى علياً وعثمان والزبير وطلحة وسعداً وعبد الرحمن

“Tidaklah saya dapatkan orang yang lebih berhak mengurus masalah ini daripada beberapa orang atau sekelompok orang yang Rasulullah صلى الله عليه وسلم wafat dalam keadaan ridho kepada mereka, kemudian beliau menyebut nama : Ali, ’Utsman Az-Zubair, Thalhah, Sa’ad dan Abdur Rahman رضي الله عنهم “

Dari atsar ini dapat kita ketahui bahwa bagaimana Umar menilai 6 orang ini adalah orang-orang yang paling berhak mengurus masalah besar, masalah politik negara. Yaitu memilih Khalifah sepeninggal beliau. Mereka orang-orang yang termasuk paling berilmu dan bertakwa. Mereka ini yang walaupun jumlahnya hanya 6 orang, namun dinilai sudah cukup mewakili jumlah Shahabat, yang ketika itu jumlahnya lebih dari 10 ribu orang.

Perhatikan Umar رضي الله عنه -yang merupakan orang kedua terbaik diantara seluruh para sahabat- tidaklah mengambil pendapat seluruh rakyat untuk menyelesaikan masalah besar Umat tersebut. Beliau memilih 6 orang saja yang memiliki kriteria termasuk paling berilmu dan paling bertakwa.

Demikian pentingnya permasalahan ini,hingga Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya menyusun sebuah bab :

باب بطانة الإمام و أهل مشورته

“Bab orang dekat seorang pemimpin dan orang yang diajak musyawarah olehnya”.

Penutup

Demikianlah beberapa atsar yang menggambarkan kedudukan tinggi ulama dan orang-orang yang berilmu di tengah masyarakat, yang dengan taufik Allah kemudian peran mereka, tercapailah kejayaan umat ini.

Semoga Allah merahmati Imam Malik, beliau berkata :

لن يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها

“Tidak akan bisa baik akhir umat ini, kecuali dengan sesuatu yang menyebabkan baik awal dari Umat ini (Salaf)”

نسأل الله -عز وجل- أن يرزقنا وإياكم العلم النافع والعمل الصالح، وأن يجعلنا وإياكم هداة مهتدين، ويغفر لنا ولكم ولجميع المسلمين.

و صلى الله و سلم على نبينا محمد وآخــر دعــوانا أن الحـــمد للــه رب العالمــين.

***

[Diolah dari beberapa referensi, terutama: Madarikun Nazhor fis Siyasah dan Sittu Duror karya Syaikh Abdul Malik Ar Ramadhani serta As-Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah



Penulis : Ismail Haniye

Artike : Curahan Hati




Jumat, 14 Oktober 2016

Apakah Benar Pemimpin Kafir Yang Adil Lebih Baik Dari Pemimpin Muslim Yang Zalim?


Apakah Benar Pemimpin Kafir Yang Adil Lebih Baik Dari Pemimpin Muslim Yang Zalim?

Pentingnya keadilan serta bahayanya kedzaliman terhadap eksistensi sebuah bangsa. Karena dalam urusan dunia Allah tidak pilih kasih. Dia memberi rahmat kepada seluruh makhluk, baik kepada orang mukmin ataupun orang kafir bila ia telah melakukan ikhtiar...

By : Ismail Haniye



Minggu, 09 Oktober 2016

Beberapa Hadist Tentang Bid'ah

                                                     Beberapa Hadits Tentang Bid’ah

Banyak kaum muslimin yang masih meremehkan masalah bid’ah. Hal itu bisa jadi karena minimnya pengetahuan mereka tentang dalil-dalil syar’i. Padahal andaikan mereka mengetahui betapa banyak hadits Nabi Shallallahu’alaihi …

By : Ismail Haniye



Photo post by : Klaudya Ayu Safitri



Banyak kaum muslimin yang masih meremehkan masalah bid’ah. Hal itu bisa jadi karena minimnya pengetahuan mereka tentang dalil-dalil syar’i. Padahal andaikan mereka mengetahui betapa banyak hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang membicarakan dan mencela bid’ah, mereka akan menyadari betapa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sangat sering membahasnya dan sangat mewanti-wanti umat beliau agar tidak terjerumus pada bid’ah. Jadi, lisan yang mencela bid’ah dan mewanti-wanti umat dari bid’ah adalah lisan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri.

Hadits 1
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Hadits 2
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)

Hadits 3
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim no. 867)

Dalam riwayat An Nasa’i,

مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i no. 1578, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan An Nasa’i)

Hadits 4
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at kepada pemimpin walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah. Karena barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang pada sunnah-ku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mereka itu telah diberi petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Jauhilah dengan perkara (agama) yang diada-adakan karena setiap perkara (agama) yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. At Tirmidzi no. 2676. ia berkata: “hadits ini hasan shahih”)

Hadits 5
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَ اللهَ حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعْ بِدْعَتَهُ

“Sungguh Allah menghalangi taubat dari setiap pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya”  (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath no.4334. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 54)

Hadits 6
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ

“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Lalu ditampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku’. Allah berfirman, ‘Engkau tidak tahu (bid’ah) yang mereka ada-adakan sepeninggalmu’ “ (HR. Bukhari no. 6576, 7049).

Dalam riwayat lain dikatakan,

إِنَّهُمْ مِنِّى . فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِى

“(Wahai Rabb), sungguh mereka bagian dari pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sungguh engkau tidak tahu bahwa sepeninggalmu mereka telah mengganti ajaranmu”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku”(HR. Bukhari no. 7050).

Al’Aini ketika menjelaskan hadits ini beliau berkata: “Hadits-hadits yang menjelaskan orang-orang yang demikian yaitu yang dikenal oleh Nabi sebagai umatnya namun ada penghalang antara mereka dan Nabi, dikarenakan yang mereka ada-adakan setelah Nabi wafat. Ini menunjukkan setiap orang mengada-adakan suatu perkara dalam agama yang tidak diridhai Allah itu tidak termasuk jama’ah kaum muslimin. Seluruh ahlul bid’ah itu adalah orang-orang yang gemar mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada, juga orang-orang zhalim dan ahli maksiat, mereka bertentangan dengan al haq. Orang-orang yang melakukan itu semua yaitu mengganti (ajaran agama) dan mengada-ada apa yang tidak ada ajarannya dalam Islam termasuk dalam bahasan hadits ini” (Umdatul Qari, 6/10)

Hadits 7
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انَّهُ سَيَلِي أَمْرَكُمْ مِنْ بَعْدِي رِجَالٌ يُطْفِئُونَ السُّنَّةَ ، وَيُحْدِثُونَ بِدْعَةً ، وَيُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ مَوَاقِيتِهَا ” ، قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، كَيْفَ بِي إِذَا أَدْرَكْتُهُمْ ؟ قَالَ : ” لَيْسَ يَا ابْنَ أُمِّ عَبْدٍ طَاعَةٌ لِمَنْ عَصَى اللَّهَ ” ، قَالَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ

“Sungguh diantara perkara yang akan datang pada kalian sepeninggalku nanti, yaitu akan ada orang (pemimpin) yang mematikan sunnah dan membuat bid’ah. Mereka juga mengakhirkan shalat dari waktu sebenarnya’. Ibnu Mas’ud lalu bertanya: ‘apa yang mesti kami perbuat jika kami menemui mereka?’. Nabi bersabda: ‘Wahai anak Adam, tidak ada ketaatan pada orang yang bermaksiat pada Allah'”. Beliau mengatakannya 3 kali. (HR. Ahmad no.3659, Ibnu Majah no.2860. Dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah, 2864)

Hadits 8
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا ، وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لَا يَرْضَاهَا اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا

“Barangsiapa yang sepeninggalku menghidupkan sebuah sunnah yang aku ajarkan, maka ia akan mendapatkan pahala semisal dengan pahala orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang membuat sebuah bid’ah dhalalah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan mendapatkan dosa semisal dengan dosa orang-orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun” (HR. Tirmidzi no.2677, ia berkata: “Hadits ini hasan”)

Hadits 9
Hadits dari Hudzaifah Ibnul Yaman, ia berkata:

يا رسولَ اللهِ ! إنا كنا بشرٌ . فجاء اللهُ بخيرٍ . فنحن فيه . فهل من وراءِ هذا الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : هل من وراءِ ذلك الشرِّ خيرٌ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : فهل من وراءِ ذلك الخيرِ شرٌّ ؟ قال ( نعم ) قلتُ : كيف ؟ قال ( يكون بعدي أئمةٌ لا يهتدون بهدايَ ، ولا يستنُّون بسُنَّتي . وسيقوم فيهم رجالٌ قلوبُهم قلوبُ الشياطينِ في جُثمانِ إنسٍ ) قال قلتُ : كيف أصنعُ ؟ يا رسولَ اللهِ ! إن أدركت ُذلك ؟ قال ( تسمعُ وتطيع للأميرِ . وإن ضَرَب ظهرَك . وأخذ مالَك . فاسمعْ وأطعْ )

“Wahai Rasulullah, dulu kami orang biasa. Lalu Allah mendatangkan kami kebaikan (berupa Islam), dan kami sekarang berada dalam keislaman. Apakah setelah semua ini akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kebaikan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Apakah setelah itu akan datang kejelekan? Nabi bersabda: ‘Ya’. Aku bertanya: ‘Apa itu?’. Nabi bersabda: ‘akan datang para pemimpin yang tidak berpegang pada petunjukku dan tidak berpegang pada sunnahku. Akan hidup diantara mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan namun berjasad manusia’. Aku bertanya: ‘Apa yang mesti kami perbuat wahai Rasulullah jika mendapati mereka?’. Nabi bersabda: ‘Tetaplah mendengar dan taat kepada penguasa, walau mereka memukul punggungmu atau mengambil hartamu, tetaplah mendengar dan taat’” (HR. Muslim no.1847)

Tidak berpegang pada sunnah Nabi dalam beragama artinya ia berpegang pada sunnah-sunnah yang berasal dari selain Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan kebid’ahan.

Hadits 10
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَوَّلُ مَنْ يُغَيِّرُ سُنَّتِي رَجُلٌ مِنْ بَنِي أُمَيَّةَ

“Orang yang akan pertama kali mengubah-ubah sunnahku berasal dari Bani Umayyah” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam Al Awa’il, no.61, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 1749)

Dalam hadits ini Nabi mengabarkan bahwa akan ada orang yang mengubah-ubah sunnah beliau. Sunnah Nabi yang diubah-ubah ini adalah kebid’ahan.

Hadits 11
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا ، فَقَالُوا : وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ؟ قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَنَا ، فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ ، وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ ، فَقَالَ : ” أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu’alaihi wasallam. ٍSetelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, “Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?” Salah seorang dari mereka berkata, “Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya” (tanpa tidur). Kemudian yang lain berkata, “Kalau aku, sungguh aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka”. Dan yang lain lagi berkata, “Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya”. Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: “Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku” (HR. Bukhari no.5063)

Dalam hadits di atas, ketiga orang tersebut berniat melakukan kebid’ahan, karena ketiganya tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Yaitu puasa setahun penuh, shalat semalam suntuk setiap hari, kedua hal ini adalah bentuk ibadah yang bid’ah. Dan berkeyakinan bahwa dengan tidak menikah selamanya itu bisa mendatangkan pahala dan keutamaan adalah keyakinan yang bid’ah. Oleh karena itu Nabi bersabda “Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku“.

Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang membicarakan dan mencela bid’ah, namun apa yang kami nukilkan di atas sudah cukup mewakili betapa bahaya dan betapa pentingnya kita untuk waspada dari bid’ah.

Wallahu’alam.



Penulis : Ismail Haniye

Artikel : Curahan Hati

Jumat, 07 Oktober 2016

TERASINGNYA SUNNAH DAN AHLU SUNNAH DI TENGAH MARAKNYA BID'AH DAN AHLI BID'AH


TERASINGNYA SUNNAH DAN AHLU SUNNAH DI TENGAH MARAKNYA BID’AH DAN AHLI BID’AH

Oleh : Ismail Haniye


Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Semua bid’ah sesat walaupun seluruh manusia menganggapnya baik.”[1]

Ucapan Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma ini menjadi peringatan bagi siapa saja, bahwa kwantitas atau jumlah bukan ukuran kebenaran. Salah satu kaidah yang telah disepakati oleh ulama menyatakan: “Popularitas sebuah perbuatan dan penyebarannya, sama sekali tidak menunjukkan kebolehannya, sebagaimana halnya keterasingan sebuah perbuatan, bukan dalil bahwa perbuatan itu dilarang”.

Ibnu Muflih mengatakan di dalam kitab Al Adabusy Syar’iyyah (I/263): “Perlu diketahui, banyak perbuatan yang dilakukan oleh mayoritas manusia justru bertentangan dengan syariat. Lalu perbuatan itu menjadi populer di tengah-tengah mereka. Lalu banyak pula manusia yang mengikuti perbuatan mereka tersebut. Satu hal yang sudah jelas bagi seorang yang berilmu ialah menolak hal tersebut, baik diungkapkan lewat perkataan maupun perbuatan. Janganlah ia mundur karena merasa asing dan karena sedikitnya pendukung”.

Imam an Nawawi rahimahullah berkata: “Janganlah seorang insan terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang melakukan perbuatan yang dilarang melakukannya, yaitu orang-orang yang tidak mengindahkan adab-adab Islam. Ikutilah perkataan al Fadhl bin Iyadh, ia berkata: ˜Janganlah merasa asing dengan jalan hidayah karena sedikitnya orang yang melaluinya. Dan jangan pula terpedaya dengan banyaknya orang-orang yang sesat binasa.”[2]

Abul Wafaa’ Ibnu ‘Uqail berkata di dalam kitab al Funun: “Siapa saja yang membangun aqidahnya di atas dalil, maka tidak perlu ia berkamuflase untuk menenggang orang lain. Allah berfirman:

أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ

“Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)” [Ali Imran : 144]

Dalam hal ini Abu Bakar ash Shiddiq Radhiyallahu a’nhu termasuk orang yang tetap teguh menghadapi simpang siur pendapat manusia. Tekanan-tekanan dari kanan dan kiri yang kerap kali membuat manusia tergelincir tidaklah membuat beliau Radhiyallahu ‘anhu labil atau maju mundur…”

Demikianlah seharusnya seorang mukmin yang memegang teguh Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah maraknya bid’ah dan ahli bid’ah. Dia harus memiliki pendirian yang kuat dan tidak terpengaruh dengan tekanan-tekanan di kanan kirinya, yang terkadang membuatnya goyah dan mundur ke belakang. Banyak saudara kita dari kalangan ahlu sunnah menjadi lemah pendiriannya karena merasa terasing di tengah masyarakatnya yang rata-rata sebagai pelaku bid’ah. Dia sering dianggap asing dan aneh. Lalu penyakit futurpun mulai menyerang hatinya, sehingga mulailah sikapnya melemah, sedikit demi sedikit dan lambat laun ia mengikuti bid’ah-bid’ah tersebut. Ambillah pelajaran dari keteguhan sikap Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu dalam menjalankan pesan-pesan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perlu ia camkan baik-baik, bahwa ia sendirilah yang akan mempertanggung jawabkan amal perbuatannya, bukan orang lain. Jadi, janganlah ia terpengaruh dengan ucapan-ucapan jahil di kanan kirinya. Terutama bagi orang awam yang sering menjadikan jumlah sebagai ukuran. Seperti perkataan mereka, bagaimana dihukumi sesat atau bid’ah, sementara kaum muslimin sejak dahulu sampai sekarang terus melakukannya? Atau perkataan mereka, mungkinkah perbuatan itu disebut bid’ah, padahal banyak orang yang membolehkan dan bahkan mengerjakannya?

Banyak sekali ayat yang menjelaskan, jumlah yang banyak sering kali memperdaya manusia. Diantaranya adalah firman Allah:

َإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah”. [Al An’am : 116].

قُلْ لا يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan”. [Al Maidah : 100].

Allah Azza wa Jalla telah menegaskan, bahwa manusia yang menentang itu memang lebih banyak jumlahnya:

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya”. [Yusuf:103].

Sebaliknya, merupakan sunnatullah bahwa para pengikut kebenaran dan yang tetap teguh di atas perintah Allah itu jumlahnya sedikit. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ

“Dan tidaklah beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit saja”.[Huud : 40].

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّاهُمْ

“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih; dan amat sedikitlah mereka ini”. [Shad : 24].

Allah juga telah menyebutkan salah satu karakteristik pengikut setia ajaran para nabi itu lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan orang-orang yang menentang.

إِنَّ هَؤُلآءِ لَشِرْذِمَةٌ قَلِيلُونَ

“(Fir’aun berkata): “Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil (sedikit jumlahnya)”. [Asy Syu’araa : 54].

Dan Allah berfirman:

وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

“Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang berterima kasih” [Saba’ : 13].

Masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengan ini.

Al Allamah Ibnu Qayyim al Jauziyah berkata di dalam kitab Ighatsatul Lahfaan min Mashaayidis Syaithaan, hlm. 132-135: “Orang yang mempunyai bashirah dan kejujuran, tidaklah merasa asing karena sedikitnya pendukung dan karena kehilangan dukungan. Apabila hatinya merasa telah menyertai generasi awal yang telah Allah beri nikmat atas mereka dari kalangan nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan orang-orang shalih, sungguh mereka adalah sebaik-baik penyerta. Keterasingan seorang hamba dalam perjalanannya menuju Allah merupakan bukti ketulusan niatnya”.

Ishaq bin Rahuyah pernah ditanya tentang sebuah masalah, lalu iapun menjawabnya. Kemudian dikatakan kepadanya: “Sesungguhnya saudaramu, Imam Ahmad bin Hambal juga berpendapat seperti itu”. Maka beliau berkata: “Aku kira tidak ada orang lain yang sependapat denganku dalam masalah ini”.

Setelah nyata kebenaran itu bagimu, maka janganlah merasa asing karena tidak ada orang yang menyertaimu. Karena apabila kebenaran itu bersinar, maka cahayanya akan tampak dan tidak butuh lagi penguat untuk menguatkannya. Hati dapat menilai kebenaran sebagaimana mata dapat melihat matahari. Apabila seseorang telah melihat matahari, maka tidak perlu lagi bukti lain untuk menguatkan pengelihatannya itu.

Sungguh baik apa yang dikatakan oleh Abu Muhammad Abdurrahman bin Ismail Abu Syaamah dalam bukunya al Hawaadits wal Bida’: “Perintah untuk melazimi jama’ah, maksudnya ialah melazimi kebenaran dan mengikutinya walaupun yang mengikutinya sedikit dan yang menyelisihinya banyak jumlahnya. Karena kebenaran itu ialah yang dipegang oleh jama’ah pertama dari zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat beliau. Jadi, janganlah engkau melihat banyaknya pelaku bid’ah sesudah mereka”.

Amru bin Maimun al Audi berkata: “Aku menyertai Mu’adz di Yaman, dan aku tidak meninggalkannya hingga aku memakamkan jenazahnya di Syam. Kemudian sesudah itu aku menyertai orang yang paling faqih, Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu. Aku mendengar beliau mengatakan, hendaklah kalian memegang teguh jama’ah. Karena tangan Allah di atas jama’ah. Kemudian suatu hari aku mendengar beliau berkata, nanti kalian akan diperintah oleh para penguasa yang mengakhirkan shalat dari waktunya. Shalatlah kalian tepat pada waktunya, itulah shalat fardhu bagi kalian, lalu shalatlah bersama mereka, dan itu menjadi shalat sunnat bagi kalian,” maka aku berkata: “Wahai sahabat Rasulullah, aku belum paham apa yang engkau sampaikan itu”.


“Apa itu?” selidik beliau.

Aku berkata, Engkau suruh aku mengikuti jama’ah dan menganjurkanku kepadanya. Kemudian engkau katakana, Shalatlah sendiri di awal waktu, dan itu menjadi shalat wajib bagi kalian. Lalu shalatlah bersama jama’ah, dan itu menjadi shalat sunnat.”

Maka Ibnu Mas’ud berkata: “Wahai Amru bin Maimun! Tadinya aku kira engkau adalah orang yang paling paham di kampung ini. Tahukah engkau, apa itu jama’ah?”

Aku menjawab: “Tidak!”

Beliau berkata: “Sesungguhnya mayoritas manusia itulah yang menyelisihi jama’ah. Sesungguhnya jama’ah itu adalah yang sesuai dengan kebenaran, walaupun engkau seorang diri” [3].

Nu’aim bin Hammad berkata: “Yakni apabila jama’ah manusia sudah rusak, maka hendaklah engkau mengikuti jama’ah awal sebelum rusak, walaupun engkau seorang diri. Karena engkaulah jama’ah di kala itu”.

Cobalah simak perkataan Imam al Auzaa’i berikut ini: “Hendaklah engkau mengikuti jejak Salaf, walaupun manusia menolakmu. Dan tinggalkanlah pendapat manusia, walaupun mereka menghiasinya dengan kata-kata manis”.

Demikianlah kondisinya, seperti yang digambarkan oleh al Hasan al Bashri: “Sesungguhnya Ahlu Sunnah adalah yang minoritas jumlahnya pada masa lalu dan pada masa yang akan datang”.

Seperti itulah kondisi yang dialami oleh al Imam asy Syatibi dalam menghadapi orang-orang pada zamannya. Beliau menuturkan : “Aku dihadapkan kepada dua pilihan. Aku tetap mengikuti sunnah tetapi menyelisihi adat kebiasan manusia. Maka aku pasti mengalami apa yang dialami oleh siapa saja yang menyelisihi adat kebiasaan. Apalagi mereka menganggap adat yang mereka lakukan itu adalah sunnah. Jelas, hal itu merupakan beban yang berat, namun di dalamnya tersedia pahala yang besar. Atau aku mengikuti adat kebiasaan mereka tetapi menyelisihi sunnah dan Salafush Shalih. Maka akupun dimasukkan ke dalam golongan orang-orang sesat, wal iyadzu billah. Hanya saja, aku dipandang telah mengikuti adat, dipandang sejalan dan bukan orang yang menyelisihi. Maka aku lihat, bahwa hancur karena mengikuti sunnah adalah jalan keselamatan. Sesungguhnya manusia itu tidak ada gunanya bagiku nanti di hadapan Allah”.

Itulah makna dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

إِنَّ الْإِسْلَامَ بَدَأَ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ غَرِيبًا كَمَا بَدَأَ فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ

“Sesungguhnya Islam itu awalnya asing, kemudian akan kembali menjadi asing seperti awalnya, maka beruntunglah orang-orang yang dianggap asing”.

Coba simak wasiat Sufyan ats Tsauri rahimahullah berikut ini: “Tempuhlah jalan kebenaran dan janganlah merasa asing karena sedikitnya orang-orang yang melaluinya sehingga membuatmu ragu-ragu”.

Bukankah ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang perpecahan umat ini menjadi tujuh puluh tiga golongan yang selamat darinya cuma satu golongan saja? Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً

“Umat Yahudi terpecah belah menjadi tujuh puluh satu golongan. Umat Nasrani terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umat ini akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan”.[4]

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan satu golongan yang selamat itu:

كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةً وَهِيَ الْجَمَاعَةُ

“Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu al Jama’ah” [5]

Adapun tentang tafsir al jama’ah telah kita sebutkan di atas.

Kesimpulannya, janganlah kita terpukau dengan banyaknya bid’ah dan para pelakunya. Jangan pula kita merasa asing dalam mengamalkan Sunnah karena sedikitnya jumlah orang-orang yang mengikutinya. Karena yang menjadi ukuran adalah hujjah dan dalil al Qur`an dan as Sunnah menurut pemahaman Salaf, bukan kwantitas atau jumlah.

Maraji :
1. Ilmu Ushul Bida’, Syeikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
2. Al I’tishaam, Al Imam asy Syathibi.
3. Al Adabusy Syar’iyyah, Ibnu Muflih.
4. Syarah Ushul I’tiqad Ahlu Sunnah wal Jama’ah, Al Laalikaai.
5. Tafsir Ibnu Katsir.
6. Al Bida’ al Hauliyah.
_
By : Ismail Haniye

Artikel : Curahan Hati
_______
Footnotes.
[1]. Diriwayatkan oleh al Laalikaai (nomor 126), Ibnu Baththah (205), al Baihaqi dalam kitab al Madkhal Ilas Sunan (191), Ibnu Nashr dalam kitab as Sunnah (nomor 70).
[2]. Ucapan ini dinukil oleh adz Dzahabi dalam kitab Tasyabbuhil Khasis, halaman 33.
[3]. Al-Laalikaai dalam as Sunnah (nomor 160)
[4]. Hadits riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (II/332), Abu Dawud dalam Sunan-nya (V/4) dalam kitab as Sunnah hadits nomor 4596. Lafazh di atas adalah riwayat Abu Dawud, at Tirmidzi dalam Jami’-nya (IV/134-135) dalam Abwaabul Imaan, hadits nomor 2778, beliau berkata: “Hadits hasan shahih”. Ibnu Majah dalam Sunan-nya (II/1321) dalam kitab al Fitan hadits nomor 3991 secara ringkas.
[5]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (II/1322) dalam kitab al Fitan, hadits nomor 3993, dalam az Zawaa-id dikatakan: “Sanadnya shahih dan perawinya tsiqah”.

Selasa, 04 Oktober 2016

REZEKI,BUKAN SEMESTINYA BERWUJUD MATERI


REZEKI, BUKAN SEMESTINYA BERWUJUD MATERI

By : Ismail Haniye



Di dalam Lisan al ‘Arab, Ibnu al Manzhur rahimahullah menjelaskan, ar rizqu, adalah sebuah kata yang sudah dimengerti maknanya, dan terdiri dari dua macam. Pertama, yang bersifat zhahirah (nampak terlihat), semisal bahan makanan pokok. Kedua, yang bersifat bathinah bagi hati dan jiwa, berbentuk pengetahuan dan ilmu-ilmu.[1]

Mengacu pada penjelasan Ibnu al Manzhur tersebut, maka hakikat rizki tidak hanya berwujud harta atau materi belaka seperti asumsi kebanyakan orang. Tetapi, yang dimaksud rizki adalah yang bersifat lebih umum dari itu. Semua kebaikan dan maslahat yang dinikmati seorang hamba terhitung sebagai rejeki. Hilangnya kepenatan pikiran, selamat dari kecelakaan lalu-lintas, atau bebas dari terjangkiti penyakit berat, semua ini merupakan contoh kongkret dari rizki. Bayangkan, apabila kejadian-kejadian itu menimpa pada diri kita, maka bisa dipastikan bisa menguras pundi-pundi uang yang kita miliki. Tidak jarang, tabungan menjadi ludes untuk mendapatkan kesembuhan. Imam an Nawawi rahimahullah mengisyaratkan makna tersebut dalam kitab Syarh Shahih Muslim (16/141).

Anugerah rizki Allah Subhanahu wa Ta’ala meliputi setiap makhluk hidup. Limpahan karunia itu cerminan rahmat dan kemurahanNya. Porsi rizki masing-masing manusia bahkan sudah ditentukan sejak dini, ketika manusia itu masih berupa janin berusia 120 hari.

Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam hadits yang panjang :

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ ……ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ

“Sesungguhnya salah seorang dari kalian dihimpun penciptaannya di perut ibunya … lantas diutuslah malaikat dan meniupkan ruh padanya. Dan ia diperintah untuk menuliskan empat ketetapan, (yaitu) menulis rizki, ajal, amalan dan apakah ia (nanti) celaka atau bahagia …”. [2]

Kendatipun rizki telah ditetapkan semenjak manusia berada di perut ibunya, tetapi Allah Subhanhu wa Ta’ala tidak menjelaskan secara detail. Tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui pendapatan rizki yang akan ia peroleh pada setiap harinya, ataupun selama hidupnya. Ini semua mengandung hikmah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا

“Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diperolehnya besok”. [Luqman/31 : 34]

SPIRIT DARI AL QUR`AN
Langit tidak akan pernah menurunkan hujan berlian atawa emas perak. Laut pun tidak mengirimkan kekayaan perutnya ke daratan, sehingga orang-orang bisa beramai-ramai mengaisnya. Islam tidak menganjurkan pemeluknya untuk memerankan diri sebagai penganggur, meski dengan dalil untuk mengkonsentrasikan diri dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jadi, usaha itu merupakan keharusan. Tidak ada kependetaan atau kerahiban dalam Islam. Seorang muslim tidak selayaknya senang bergantung kepada orang lain, menunggu belas kasih dari orang-orang yang lalu-lalang melewatinya.

Renungkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. [al Jumu’ah/62 : 10].

Al Qurthubi rahimahullah mengatakan: “Berpencarlah kalian di bumi untuk berdagang, dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian, serta untuk mencari sebagian dari rizki Allah Subhanahu wa Ta’ala ”.[3]

Allah Subhanahu wa Ta’alal berfirman :

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ

“Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian dari rizkiNya”. [al Mulk/67 : 15].

Tentang ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan : “Menyebarlah kemanapun kalian inginkan di penjuru-penjurunya, dan berkelilinglah di sudut-sudut, tepian dan wilayah-wilayahnya untuk menjalankan usaha dan perniagaan”. [4]

RIZKI HARUS HALAL
Al Qur`an dan Sunnah telah mendorong manusia agar mencari rizki yang halal lagi thayyib. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ

“Wahai manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, pakailah cara baik dalam mencari (rizki). Sesungguhnya seseorang tidak akan meninggal sampai ia sudah meraih seluruh (bagian) rizkinya, meskipun tertunda darinya. Bertakwalah kepada Allah dan lakukan cara yang baik dalam mencari (rizki)”.[5]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan manusia, hendaknya berhati-hati dari fitnah harta. Jangan meremehkan pentingnya rizki yang halal, dan harus selektif dalam menghimpun rizki. Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan hadits marfu’ :

َ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلَالِ أَمْ مِنْ الْحَرَامِ

“Akan datang suatu masa pada manusia, seseorang tidak peduli terhadap apa yang digenggamnya, apakah dari halal atau dari yang haram”.[6]

BERKAH ITU PENTING!
Berkah (atau barokah), berasal dari kata الْبُرُوك (al buruk). Maksudnya ialah الثُّبُوت (ats tsubut atau menetap).

Az Zajjaj mengartikan berkah, sebagaimana dikutip oleh al Qurthubi dalam tafsirnya, dengan limpahan pada setiap hal yang mengandung kebaikan. Kata itu pun dimaksudkan pula kepada makna pertambahan dengan tetap terpeliharanya dzat aslinya.

Namun perlu dingat, pengertian berkah ini tidak melulu identik dengan limpahan materi yang dimiliki, tetapi juga menyertai harta yang sedikit. Hal ini tercermin pada diri yang merasa berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga, meskipun income yang didapatkan masih tergolong jauh jika dianggap cukup.

Dalam hadits Hakim bin Hizam Radhiyallahu ‘anhu di bawah ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya :

يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ

“Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini begitu hijau lagi manis. Maka barangsiapa yang mengambilnya dengan kesederhanaan jiwa, niscaya akan diberkahi. Dan barangsiapa mengambilnya dengan kemuliaan jiwa, niscaya tidak diberkahi; layaknya orang yang makan, namun tidak pernah merasa kenyang”.[8]

Tentang hadits ini, al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, bahwa mayoritas manusia tidak memahami keberadaan berkah, kecuali pada harta yang semakin bertambah banyak. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dengan permisalan itu, bahwa berkah merupakan salah satu makhluk Allah, dan membawakan permisalan yang sudah akrab dengan manusia. [9]

Dari sini kita bisa mengetahui, bahwa cara-cara yang legal dalam mengais rizki, tidak hanya mendatangkan rizki yang halal lagi thayyib, tetapi juga akan berpengaruh pada lahir insan-insan masa depan, yaitu anak-anak yang berjiwa suci lagi berkepribadian luhur, lantaran mendapatkan asupan gizi dari makanan halal. Selain itu, juga dapat menghadirkan karunia lain, yang tidak bisa terpantau oleh indera ataupun dihitung dengan materi. Itulah berkah.

TIGA PEMBAWA BERKAH PADA HARTA
Pertama : Syukur.
Kenikmatan yang didapatkan seseorang pada setiap datang, tidak terhitung jumlahnya, termasuk di antaranya harta benda. Kenikmatan ini menuntut seseorang untuk memanifestasikan syukur kepada al Khaliq yang telah melimpahkan rizki. Rasa syukur dan terima kasih serta pujian kepada Allah Azza wa Jalla atas nikmat itu, merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan berkah dan tambahan pada harta yang dimiliki.

Ibnul Qayyim berkata, “Allah menjadikan sikap bersyukur sebagai salah satu sebab bertambahnya rizki, pemeliharaan dan penjagaan atas nikmatNya (pada orang yang bersyukur). (Demikian ini merupakan) tangga bagi orang bersyukur menuju Dzat yang disyukuri. Bahkan hal itu menempatkannya menjadi yang disyukuri”. [10]

Syukur jangan dipahami secara sempit, atau hanya dengan lantunan kata “alhamdulillah” atau “wa asy syukru lillah”. Syukur yang seperti ini tidaklah tepat, dan tidak pelak lagi, yang demikian itu merupakan pandangan yang terlalu dangkal. Syukur memiliki makna yang lebih jauh dan lebih luas dari sekedar ucapan tersebut. Segala perbuatan baik, seperti shalat, puasa, pengakuan kurang dalam menjalankan ketaatan, menghargai nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala , memperbincangkannya, menerima dengan ridha, walaupun sedikit, semuanya masuk dalam bentuk syukur. Dengan bersyukur, maka Allah akan menambahhkan karuniaNya kepada kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

“Jika engkau bersyukur, niscaya Kami benar-benar akan menambahimu”. [Ibrahim : 7].

Al Qurthubi menjelaskan, artinya, jika engkau mensyukuri nikmatKu, niscaya Aku tambahkan kepada kalian dari kemurahanKu. Ayat ini merupakan dalil yang tegas bahwa bersyukur menjadi factor yang akan menambah kenikmatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. [11]

Kedua : Shadaqoh.
Tidak sedikit ayat dan hadits yang menjelaskan shadaqoh dan infak merupakan salah satu penunjang yang dapat mendatangkan rizki dan meraih berkah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

“Allah menghapuskan riba dan mengembangkan shadaqoh”.[al Baqarah : 276].

Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meningkatkannya di dunia ini dengan berkah dan memperbanyak pahalanya dengan melipatgandakannya di akhirat. [12]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Asma` bintu Abi Bakar Radhiyallahu ‘anha :

أَنْفِقِي وَلَا تُحْصِي فَيُحْصِيَ اللَّهُ عَلَيْكِ

“Berinfaklah, janganlah engkau menahan diri, akibatnya Allah akan memutus (berkah) darimu”. [13]

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,”Larangan dari menahan diri untuk bersedekah lantaran takut habis (apa yang dimiliki), sikap ini merupakan faktor paling yang mempengaruhi terhentinya keberkahan. Karena Allah membalas pahala infak tanpa ada batas hitungannya.” [14]

As Sindi memaknai hadits di atas dengan mengatakan : “Janganlah engkau menahan apa yang ada di tanganmu, akibatnya Allah akan mempersulit pintu-pintu rizki. Dalam hadits ini terkandung pengertian, bahwa kedermawanan akan membuka pintu rizki, dan kikir adalah sebaliknya”.[15]

Al Mubarakfuri berkata, “Hadits ini menunjukkan, bahwa sedekah meningkatkan harta dan menjadi salah satu penyebab keberkahan dan pertambahannya; dan (menunjukkan pula), kalau orang yang bakhil, tidak bersedekah, (maka) Allah mempersulit dirinya dan menghambat keberkahan pada harta dan pertambahannya.” [16]

Ketiga : Silaturahmi.
Usaha lain yang bisa mendukung bertambahnya rizki dan bisa mendatangkan keberkahan pada harta yang dimiliki, yaitu menyambung jalinan silaturahmi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Barangsiapa ingin dilapangkan dalam rizkinya dan ditunda ajalnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahmi”.[17]

Hadits di atas menunjukkan manfaat menyambung tali silaturahmi, yaitu dapat mendatangkan curahan kebaikan dari Allah berbentuk rizki, terhindar dari keburukan, dan diraihnya keberkahan.

Al Hafizh rahiamhullah berkata : “Para ulama mengatakan, yang dimaksud dilapangkan rizkinya adalah, adanya keberkahan padanya. Sebab menyambung tali silaturahmi adalah sedekah, dan sedekah mengembangkan harta, sehingga semakin bertambah dan bersih”.[18]

Wa billahit taufiq.

By : Ismail Haniye

Artikel : Curahan Hati
_______
Footnote
[1]. Lisanu al ‘Arab, 10/1115.
[2]. HR Muslim, kitab al Qadr, bab Kaifa al Khalqu al Adami fi Bathni Ummi wa Kitabati Rizqihi, 4/ 2037-2038.
[3]. Al Jami’ li Ahkami al Qur`an (18/105).
[4]. Tafsir al Qur`ani al ‘Azhim (4/105), dengan ringkasan.
[5]. HR Ibnu Majah, kitab at Tijarat, bab al Iqtishad fi Thalabi al Ma’isyah (2/724), dan dishahihkan oleh al Albani.
[6]. HR al Bukhari, kitab al Buyu’, bab Man Lam Yubali min Haitsu Kasaba al Mal (4/296).
[7]. Al Jami’u Li Ahkami al Qur`an : 13/1 pada tafsir ayat pertama surat al Furqan.
[8]. HR al Bukhari, kitab az Zakat, bab al Isti’faf ‘an al Mas`alah (3/3350); Muslim, kitab az Zakat, bab Takhawwufi ma Yakhruju min Zahrati ad Dunya (2/727-729).
[9]. Fat-hul Bari (3/337)).
[10]. Madarijus Salikin (2/252) secara ringkas.
[11]. Al Jami’u li Ahkami al Qur`an (9/353).
[12]. Al Jami’u li Ahkami al Qur`an (14/41).
[13]. HR al Bukhari (3/299-300, 3/301, 5/217), Muslim (2/713), Abu Dawud (2/134), at Tirmidzi (6/94), an Nasaa-i (5/74).
[14]. Fat-hul Bari (3/301).
[15]. Hasyiyah as Sindi ‘ala Sunan an Nasaa-i (5/74-75)
[16]. Tuhfatul Ahwadi (6/94).
[17]. HR al Bukhari (4/301), (10/415).
[18]. Fathul Bari (4/303).

Sabtu, 01 Oktober 2016

Hikmah Do'a Yang Tertunda/Belum Dikabul

                                            Hikah Do'a Yang Tertunda/Belum Dikabul


By : Ismail Haniye





Blog berupa pencerahan hati agar lebih sadar betapa pentingnya nilai agama

Kita semua pastilah pernah berdoa (memohon pertolongan) pada Alloh, baik permohonan yang sifatnya pokok, seperti mohon ketetapan iman, yakin, syukur, khusnul khotimah (akhir kehidupan yang baik), hidup barokah dan seterusnya, maupun permohonan yang kesannya sepele seperti mohon naik gaji, naik pangkat, bisa nyaur hutang, agar si A suka dan seterusnya. Namun tidak semua orang yang berdoa itu dikabulkan oleh Allah. Bagi yang terkabul doanya, bersyukurlah dan tetap waspada, jangan sampai dengan terkabulnya doa itu merasa lebih dekat kepada Allah daripada orang yang “tidak terkabul doanya’, dan jangan sampai terjebak pada pemikiran yang terkesan menuduh “Allah bisa diatur dengan doa”. Dan bagi yang belum terkabul doanya, bersabarlah dan koreksi diri, siapa tahu ada hikmah dibalik “belum terkabulnya doa” atau memang kita kurang memenuhi syarat berdoa dengan benar.
Aturan berdoa
Pada dasarnya semua doa pastilah diijabahi (dikabulkan) oleh Allah. Sebagaimana diinformasikan dalam Alquran:
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu”
Al mukmin:60
Sabda Rosululloh SAW:
“Tidak seorangpun yang berdoa, kecuali akan dikabulkan”
HR. Ath-Thirmidzi
Namun tentunya doa yang dikabulkan itu adalah doa yang memenuhi syarat aturan dari Alloh, yang diantaranya :
1.    Yaqin
2.    Khusyu’
Bersabda Rasulullahi SAW:
“Berdo’alah kepada Allah dan kalian yakin akan dikabulkan. Ketahuilah!, sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu do’a dari hati yang lalai lagi lengah”
Shahihut Targib no: 1653
Dalam Risalah Alqusyairiyah juga diceritakan :
Alkisah Nabi Musa pernah bertemu dengan seorang pria yang sedang berdoa dengan menunduk. Musa A.S berkata kepada Tuhannya: Wahai Tuhan, jika saja kebutuhan hamba tersebut berada di tanganku, pasti akan saya berikan. Kemudian Allah menurunkan wahyu kepadanya: Wahai Musa, saya lebih sayang kepadanya daripada kamu. Dan tahukah kamu mengapa doa dia tidak saya kabulkan?  Karena setiap dia berdoa kepadaku, hatinya selalu ingat akan kambingnya. Dan Aku tidak mau mengabulkan doa seorang hamba yang ketika berdoa, hatinya masih mengingat selainKu. Dengan demikian diantara cara agar doanya terkabul adalah hatinya harus khusyu’, tidak boleh ingat selain Alloh.
Tidak makan makanan yang haram
Sebagaimana disinggung dalam hadits Nabi:
“Hai Sa’ad (bin Abi Waqqosh), hindarilah makanan harom, ketahuilah setiap perut yang di isi dengan makanan harom, sekalipun hanya sesuap nasi, maka doanya tertolak”
Hadis keterangan dari Sa’ad bin Abi Waqos
Oleh karena itu, bagi siapa yang ingin doanya mudah terkabul, hendaklah menghindari makanan yang harom.
Tergesa-gesa menyimpulkan doa tidak terkabul
Karena dalam hadis Nabi diterangkan:
“Doa salah seorang dari kalian akan dikabulkan selagi ia tidak buru-buru. (Yakni jika) ia berkata, ‘Aku telah berdoa kepada Tuhanku, tapi doaku tidak dikabulkan’ ”
HR Al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad
Dan masih banyak lagi aturan berdoa.
Bagi orang yang sudah bersungguh-sungguh dalam berdoa serta sudah berusaha memenuhi aturan berdoa dengan baik namun belum juga dikabulkan doanya, maka pastilah ada hikmah dibalik tertundanya pengabulan dari Alloh. Dan disini kita akan mencoba mengungkap hikmah mengapa doa kita belum juga terkabul.
Hikmah dari doa kita yang belum terkabul?
Mengenai hikmah belum dikabulkannya doa itu banyak sekali, diantaranya :
1.    Bisa jadi karena Alloh suka mendengar suara kita
Sebagaimana diceritakan dalam Risalah Alqusyairiyah bab doa.
Alkisah Yahya bin Said Alqot-thon pernah bermimpi bertemu dengan Allah, dan dalam mimpi tersebut ia mengadu kepadaNya, “Wahai Tuhanku, banyak sekali doa yang saya panjatkan kepada Engkau namun tidak ada yang Engkau kabulkan”.
Jawab Tuhan: “Wahai yahya, mengapa doa kamu belum saya kabulkan, karena saya senang mendengar suaramu”.
Dengan demikian maka bagi orang yang belum terkabul doanya, janganlah bersedih, bukan berarti Allah benci pada kita, bisa jadi posisi kita malahan seperti Yahya bin Said, Allah senang mendengar suara kita.
2.  Mungkin juga Allah menunda mengabulkan doa kita di dunia karena hendak ditangguhkan di akherat atau digantikan dengan pengampunan dosa
Sebagaimana diinformasikan oleh Nabi Muhammad SAW:
“Tidak seorangpun yang berdoa, kecuali akan dikabulkan. Pengabulannya itu bisa segera didunia ini, dan bisa juga ditangguhkan di akhirat kelak, atau bisa juga digantikan dengan pengampunan dosa sesuai dengan kadar doanya itu, dengan syarat ia tidak berdoa untuk sebuah perbuatan dosa, atau memutus tali silaturahmi, atau isti’jal (menuntut segera terkabul)”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rosululloh, apa yang dimaksud dengan isti’jal itu?” Beliau menjawab, “Seseorang yang berkata, “Aku telah berdoa kepada Robku, namun belum juga dikabulkan”
HR. Ath-Thirmidzi
Jika sampai doa kita pengabulannya ditangguhkan di akhirat, maka di akhirat nanti doa-doa tersebut akan menjelma menjadi kebaikan-kebaikan. Dan saat itu, kita akan sangat bahagia, bahkan berharap sekiranya seluruh doa kita ditangguhkan semuanya untuk kebaikan di akhirat.
3.  Mungkin Allah tidak mengabulkan doa kita karena Ia sengaja hendak menghilangkan keburukan dari kita
Diriwayatkan dari Ubadah bin Ash-Shomit r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Jika di atas bumi ada seorang muslim berdoa kepada Allah dengan satu doa, maka Ia akan mengabulkan doa itu atau menghilangkan keburukan darinya, selagi ia tidak mengerjakan dosa atau memutus hubungan kekerabatan.” Seseorang berkata, “Bagaimana kalau kita memperbanyak doa?” Rasulullah SAW bersabda: “Allah akan lebih banyak lagi mengabulkan doanya atau menghilangkan keburukan darinya”
HR At-Tirmidzi, Ahmad, dan Al-Hakim
Dalam riwayat Al-Hakim ada tambahan:
“Atau Allah akan menyimpan pahala seperti doanya itu untuknya”
HR Al-Hakim
Karena itu, tidak ada salahnya kita memperbanyak doa, meskipun terkesan tidak dikabulkan oleh Allah, sebab akan dirubahnya menjadi penghapus keburukan kita. Semakin banyak kita berdoa, semakin banyak pula peluang menghapus keburukan kita.
4.  Penundaan terkabulnya doa bisa juga menjadi salah satu bentuk ujian dari Allah kepada kita, Allah ingin menguji iman kita
Ketika doa tidak segera dikabulkan, syetan membisikkan pikiran jahat kepada seseorang, dengan berkata kepadanya: Katanya setiap doa pasti dikabulkan, tapi bagaimana kenyataannya, doa kamu tidak dikabulkan, jadi tidak ada gunanya kamu berdoa. Dalam hal ini, sebagai hamba yang baik, tetaplah harus berdoa, meski ia ada perasaan marah kepadaNya, lantaran tidak ada satupun doa yang dikabulkan. Dikarenakan ada hadis yang menerangkan: “Bersabda Rasulullahi SAW : Demi Allah yang jiwaku berada didalam kekuasaan-Nya, seorang hamba benar-benar berdoa sedangkan ia marah kepada-Nya karena tidak mengabulkan doanya, kemudian ia berdoa lagi kepada-Nya. Maka Allah berfirman kepada malaikat-Nya; Hambaku tidak mau berdoa kepada selain-Ku, maka sungguh aku kabulkan doanya”.
Hadis keterangan dari Ali r.a dalam Al Kanz, jilid 2 hal 74, hadis nomor 3194
5.    Tidak segera dikabulkannya doa bukanlah berarti Alloh menolak doa kita, karena bisa jadi waktunya saja yang belum tiba
Karena banyak sekali diceritakan dalam Alquran, doa Nabi saja banyak yang waktu pengabulannya mencapai puluhan tahun. Sebagai contoh misalnya Nabi Ya’kub, setelah beliau kehilangan anak kesayangannya (yakni Yusuf), beliau tidak henti-hentinya berdoa dan berdoa. Tapi pengabulan doa beliau tertunda terus hingga mencapai waktu yang cukup lama, sampai ada yang mengatakan, “Nabi Ya’qub berdoa selama empat puluh tahun.”
Penderitaan dan cobaan yang dialami Nabi Ya’qub tidak berhenti sampai disitu, anaknya yang lain, Bunyamin, juga ikut hilang, sampai-sampai kedua matanya buta karena kesedihan yang mendalam. Kendati demikian, beliau terus memohon dan memohon dengan yakin bahwa Allah akan mengakhiri penderitaanya.
Demikian pula dengan Nabi Musa a.s, beliau pernah berdoa kepada Allah
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan pada kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Mu. Ya Tuhan kami, binasakan harta benda mereka, dan kuncilah mati hati mereka, karena mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.”
QS Yunus: 88
Namun konon Allah baru mengabulkan doa beliau tersebut, sebagaimana yang dinyatakan oleh Alloh;
QS Yunus: 89
“Sesungguhnya permohonan kalian berdua dikabulkan” , setelah 40 tahun lamanya!
Padahal yang berdoa adalah Nabi Musa a.s, salah seorang dari Rasul Ulul ‘Azmi, sedangkan yang mengamininya adalah Nabi Harun a.s, seorang nabi yang mulia. Dan keduanya tentunya juga telah memenuhi semua syarat dan etika berdoa. Walau begitu keterkabulan doanya memakan waktu yang sangat lama sekali.
Belum lagi Nabi Ibrahim, yang berdoa ingin mempunyai anak sholeh, jarak antara doanya dan pemberiannya dari Allah juga sangat lama sekali, sampai puluhan tahun. Karena itu, bila permohonan kita pada Allah belum juga terkabul, janganlah putus asa, ingatlah kisahnya para Nabi yang doanya lebih lama dari kita dan tentunya juga lebih khusyu’ serta lebih dekat kepada Allah, terkabulnya juga memakan waktu puluhan tahun.
6.  Tidak segera dikabulkannya doa kita itu bisa jadi masih menunggu proses, karena segala sesuatu itu pasti punya takaran, syarat dan sebab
Jadi bukan berarti doanya tidak terkabul, melainkan menunggu kesiapan dari kita untuk menerimanya. Karena itu, janganlah tergesa-gesa menyimpulkan; doa saya tidak terkabul.
Sabda nabi SAW: “Doa salah seorang dari kalian akan dikabulkan selagi ia tidak buru-buru. (Yakni jika) ia berkata, ‘Aku telah berdoa kepada Tuhanku, tapi doaku tidak dikabulkan’.”
HR Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad
Dalam lafazh Muslim disebutkan:
“Ditanyakan, ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan minta agar doa segera dikabulkan?’ Rasulullah SAW bersabda, ’(Yakni) hamba itu berkata, ‘Aku berdoa dan berdoa, tapi doaku tidak dikabulkan’.”
HR Muslim
7.   Doa kita yang kelihatannya tidak terkabul, bisa jadi itulah bentuk pengabulannya dari Allah
Dikarenakan menurut Alquran, setiap doa pastilah akan dikabulkan.
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.”
 Al mukmin:60
Sabda Rosululloh SAW:
“Tidak seorangpun yang berdoa, kecuali akan dikabulkan”
HR. Ath-Thirmidzi
Hanya saja terkadang pengabulannya Alloh itu tidak sesuai dengan harapan kita, mungkin permohonan kita minta mobil, tapi pengabulannya Allah berupa motor atau bahkan sepeda angin. Kalau seandainya pengabulan dari Allah itu selalu disesuaikan dengan harapan manusia, kita tidak bisa bayangkan bagaimana kacaunya kehidupan dunia. Contoh kecil saja, bagaimana jadinya kalau dalam satu waktu ada yang minta hujan juga ada yang minta terang, karena keduanya sama-sama punya kepentingan, yang satu sedang butuh hujan karena akan menanam, satunya lagi inginnya terang karena sedang jalan-jalan. Contoh lain misalnya dimusim pemilihan lurah, calonnya ada 5 dan semuanya berdoa mohon pada Allah supaya jadi lurah, padahal yang harus jadi cuma satu. Jadi tidaklah mungkin pengabulannya Allah itu pasti sesuai dengan keinginan manusia. Tapi yang jelas semua doa (berdasarkan ayat tersebut) pastilah dikabulkan. Dan bagi orang yang merasa doanya belum terkabul, bisa jadi Allah sudah mengabulkan doanya, namun tidak sesuai dengan keinginannya.
8.  Terkadang doa yang tidak segera dikabulkan justru akan membuat kita semakin dekat kepada Allah, terus bersimpuh di hadapan-Nya, selalu merendahkan diri kepada-Nya
Sebaliknya, tidak jarang jika permintaan kita dikabulkan, maka kita menjadi lebih sibuk, lalu kita tidak lagi ingat kepada Alloh, tidak meminta dan tidak berdoa lagi kepada-Nya, padahal doa itu sendiri tidak hanya sebagai ibadah, malahan menduduki posisi yang sangat penting sekali, yakni sebagai otaknya ibadah.
Demikianlah diantara hikmah dibalik belum terkabulnya doa kita, semoga kita menjadi orang-orang yang tidak pernah bosan dalam berdoa, karena doa adalah otaknya ibadah.
 Semoga artikel di atas ini bermanfaat buat kita semua amiinn..

By : Ismail Haniye

Artikel : Curahan Hati