Kamis, 04 Agustus 2016

Allah Pencipta Dan Pemberi Rezeki Dan Tidak Membiarkan Kita Begitu Saja

Allah S.W.T. memelihara kita di dunia ini dengan rizki-Nya, setelah sebelumnya Allah menciptakan kita. Lalu, apakah hal itu Allah lakukan hanya karena “suka-suka” dan “main-main” saja, tidak" ada hikmah dan tidak ada tujuan tertentu?                                  

 Di dunia ini, Allah Ta’ala telah memberikan dan melimpahkan kita berbagai macam nikmat dan rizki yang tidak terhitung jumlahnya. Allah Ta’ala memelihara kita di dunia ini dengan rizki-Nya, setelah sebelumnya Allah menciptakan kita. Lalu, apakah hal itu Allah lakukan hanya karena “suka-suka” dan “main-main” saja, tidak ada hikmah dan tidak ada tujuan tertentu? Beriman bahwa Allah adalah Dzat yang Menciptakan Kita Sebagaimana yang telah kita maklumi bersama bahwa Allah Ta’ala menciptakan kita setelah sebelumnya kita tidak ada. 

                                                                                Allah Ta’ala berfirman, هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedangkan dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?” (QS. Al-Insan [76]: 1).                          

Allah Ta’ala juga berfirman, قَالَ كَذَلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا “Tuhan berfirman, ‘Demikianlah.’ Tuhan berfirman, ‘Hal itu adalah mudah bagi-Ku. Dan sesungguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali.’” (QS. Maryam [19]: 9).

Adapun yang menciptakan kita adalah Allah Ta’ala. Hal ini dapat kita ketahui berdasarkan dalil sam’i (dalil berupa wahyu) dan dalil ‘aqli (dalil berupa logika). Berdasarkan dalil sam’i misalnya firman Allah Ta’ala, اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ “Allah adalah Pencipta segala sesuatu.” (QS. Az-Zumar [39]: 62). Adapun dalil logika, sebagaimana yang ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. Ath-Thuur [52]: 35).

Dalam ayat ini terdapat dalil logika tentang pencipataan manusia. Karena berdasarkan logika kita, adanya manusia dan dunia ini tidak lepas dari tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama, mereka ada tanpa adanya pencipta apa pun. Kemungkinan ke dua, mereka menciptakan diri mereka sendiri. Dan kemungkinan yang ke tiga, ada yang menciptakan, Dia–lah Rabb Yang Maha kuasa. Kemungkinan pertama dan ke dua tentu kemungkinan yang tidak benar, sedangkan yang benar adalah kemungkinan ke tiga. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala mengajak manusia untuk berfikir (yang artinya), “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” Beriman bahwa Allah adalah Dzat yang Memberikan Rizki kepada Kita dan Tidak akan Membiarkan Kita Begitu Saja Setelah menciptakan kita, maka Allah Ta’ala pun memberikan kepada kita berbagai rizki yang dapat membantu dan memudahkan kehidupan kita di dunia ini. Dan dengan rizki itulah kita dapat mewujudkan tujuan penciptaan kita di dunia ini, yaitu beribadah kepada-Nya semata.

Allah Ta’ala berfirman, إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Sesungguhnya Allah memberi rizki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 37). Setelah Allah Ta’ala menciptakan kita, maka ketahuilah bahwa Allah tidaklah lantas membiarkan kita begitu saja. Allah Ta’ala menciptakan dan memberi kita rizki karena hikmah tertentu. Tidaklah Allah Ta’ala menciptakan kita hanya sekedar main-main saja tanpa tujuan.

Allah Ta’ala berfirman, أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minuun [23]: 115).

Allah Ta’ala juga berfirman, أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى (36) أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى (37) ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى (38) “Apakah manusia mengira, bahwa dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung-jawaban)? Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya?” (QS. Al-Qiyamah [75]: 36-38).

Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلًا ذَلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ “Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir. Maka celakalah orang-orang kafir itu, karena mereka akan masuk neraka.” (QS. Shaad [38]: 27).


Ibadah: Hikmah dan Tujuan Penciptaan Manusia Allah Ta’ala tidaklah menciptakan kita di dunia ini untuk hidup bersenang-senang saja, sekedar untuk makan-minum, istirahat, foya-foya, dan bergembira, dan setelah itu kita meninggal tanpa ada urusan lagi atau pertanggung-jawaban apa pun. Allah tidaklah menciptakan kita sebagaimana binatang, yang tidak dibebani syariat apa pun, baik berupa perintah maupun larangan. Akan tetapi, Allah Ta’ala menciptakan kita karena hikmah yang sangat agung dan karena tujuan yang sangat mulia, yaitu agar kita beribadah kepada Allah Ta’ala.


Allah Ta’ala berfirman, وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56) مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ (57) “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku juga tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.” (QS. Adz-Dzaariyat [51]: 56-57). Kehidupan Dunia, Tempat Berladang dan Bercocok Tanam Oleh karena itulah, kehidupan kita di dunia ini hakikatnya bagaikan tempat berladang dan bercocok tanam, yang akan kita petik hasilnya di negeri akhirat kelak. Kita menyiapkan diri kita dengan berbagai amal shalih. Setelah itu kita pun mati, dibangkitkan, dihisab, dan diberi balasan terhadap amal yang telah kita kerjakan. Sebetulnya, akal kita pun telah menunjukkan hal itu. Karena tentu merupakan hal yang bertentangan atau tidak sesuai dengan hikmah Allah Ta’ala ketika Dia menciptakan manusia, memberikan mereka berbagai macam rizki, kemudian setelah itu dibiarkan begitu saja, tanpa ada pertanggung-jawaban dan balasan apa pun. Ini adalah perbuatan sia-sia. Oleh karena itu, sebuah keniscayaan untuk memberikan balasan amal-amal manusia di dunia ketika berada di negeri akhirat kelak. Marilah kita berfikir sejenak, ketika di dunia bisa saja kita melihat seseorang yang sangat bersemangat beribadah kepada Allah Ta’ala, akan tetapi dia hidup dalam kemiskinan. Di sisi lain, ada seseorang yang sangat dzalim dan sering melanggar hak orang lain, namun tidak mendapatkan balasan (hukuman) apa-apa di dunia. Ada pula orang kafir yang menentang Allah dan Rasul-Nya, namun hidupnya mewah dan penuh dengan kesenangan dan kecukupan. Apakah sesuai dengan keadilan dan hikmah Allah Ta’ala, ketika Allah membiarkan hamba-Nya yang taat tanpa ada balasan apa pun dan membiarkan orang kafir tanpa ada hukuman apa pun, kalau setelah kehidupan di dunia tidak ada pertanggung-jawaban? Hal ini bertentangan dengan hikmah Allah Ta’ala sama sekali. Oleh karena itulah, Allah Ta’ala menjadikan negeri yang lain, yaitu negeri akhirat, sehingga Allah Ta’ala membalas hamba-Nya yang taat atas ketaatannya dan membalas hamba-Nya yang durhaka atas kedurhakaannya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa dunia adalah ladang untuk beramal, sedangkan akhirat adalah negeri balasan, baik surga maupun neraka. Allah Ta’ala tidak akan membiarkan kita begitu saja, sebagaimana sangkaan orang-orang musyrik -yang tidak beriman dengan hari kebangkitan- yang Allah Ta’ala ceritakan dalam


firman-Nya, وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ “Dan mereka berkata,’Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa.’ Dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 24).


Allah Ta’ala sendiri telah membantah anggapan mereka itu dalam firman-Nya, أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ (35) مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ (36) “Maka apakah patut kami menjadikan orang-orang Islam itu sama (balasannya) dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Atau adakah kamu (berbuat demikian), bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS. Al-Qalam [68]: 35-36) Dalam ayat yang lain,


Allah Ta’ala berfirman, أَمْ حَسِبَ الَّذِينَ اجْتَرَحُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ نَجْعَلَهُمْ كَالَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَوَاءً مَحْيَاهُمْ وَمَمَاتُهُمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ “Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 21).


Untuk Mewujudkan Tujuan Penciptaan, Diutuslah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Agar manusia dapat mewujudkan tujuan penciptaan tersebut –yaitu beribadah kepada-Nya-, maka Allah Ta’ala pun mengutus rasul kepada kita, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena ibadah tidaklah didasarkan atas sangkaan baik kita semata atau didasarkan atas ikut-ikutan orang lain. Sehingga Allah Ta’ala pun mengutus rasul untuk menjelaskan kepada kita bagaimana cara beribadah kepada Allah Ta’ala. Oleh karena itu, di antara hikmah diutusnya rasul adalah untuk menjelaskan bagaimana tatacara beribadah yang benar kepada Allah Ta’ala dan melarang manusia dari perbuatan syirik dan kekafiran. Di antara dalil yang menunjukkan pengutusan rasul ini adalah


firman Allah Ta’ala, إِنَّا أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُولًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُولًا (15) فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ فَأَخَذْنَاهُ أَخْذًا وَبِيلًا (16) “Sesungguhnya kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah) seorang rasul, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana kami telah mengutus (dahulu) seorang rasul kepada Fir’aun. Maka Fir’aun mendurhakai rasul itu, lalu kami siksa dia dengan siksaan yang berat.” (QS. Al-Muzammil [73]: 15-16).


Barangsiapa yang menaati rasul tersebut, maka sungguh dia telah mendapatkan petunjuk dan masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepada rasul, maka dia berada dalam kesesatan dan masuk neraka.


Allah Ta’ala berfirman, وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ “Dan jika kamu taat kepadanya (rasul), niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. An-Nuur [24]: 54). Allah Ta’ala juga berfirman, وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ “Dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (QS. An-Nuur [24]: 56).


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, « كُلُّ أُمَّتِى يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ ، إِلاَّ مَنْ أَبَى » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ « مَنْ أَطَاعَنِى دَخَلَ الْجَنَّةَ ، وَمَنْ عَصَانِى فَقَدْ أَبَى » “Seluruh umatku akan masuk surga, kecuali orang yang enggan.” Para sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?” Rasulullah menjawab,”Barangsiapa yang taat kepadaku, maka masuk surga. Dan barangsiapa yang durhaka kepadaku, maka dia adalah orang yang enggan (masuk surga).” (HR. Bukhari, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, « وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِى أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِىٌّ وَلاَ نَصْرَانِىٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ » “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah ada seorang pun dari umatku yang mendengar dakwahku, meskipun seorang Yahudi atau Nasrani, kemudian mati dalam keadaan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali dia adalah penghuni neraka.” (HR. Muslim, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu). Karena rasul telah menjelaskan segala hal tentang kewajiban kita kepada Allah Ta’ala di dunia ini, maka tidak boleh ada seorang pun yang mengatakan pada hari kiamat, “Saya tidak tahu bahwa aku diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Saya tidak tahu apa yang Allah perintahkan dan apa yang Allah larang.” Hal ini karena hal itu telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan pengutusan rasul, maka tegaklah hujjah Allah Ta’ala kepada manusia. Sehingga tidak ada lagi alasan yang dapat dipakai oleh manusia ketika mereka durhaka kepada Allah Ta’ala. 



Allah Ta’ala berfirman, رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا “(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’ [4]: 165). Semoga Allah Ta’ala memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kita dapat mewujudkan tujuan penciptaan kita di dunia ini, yaitu beribadah dan taat kepada-Nya, serta tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar